Welcome to the Neo Area

Di blog ini, saya akan menampilkan artikel-artikel saya, buku harian saya, dan catatan-catatan tentang saya, disini saya juga akan mengisi berita-berita dan artikel tentang masalah, Ac Milan, Persebaya, Timnas Indonesia, dll. saya akan berusaha membuat blog ini kental akan sepak bola,,

Senin, 15 November 2010

Demi LPI, Beramai-ramai Pecah Klub

Surabaya (beritajatim.com) - Ada gejala menarik di beberapa bulan belakangan. Klub-klub di Indonesia beramai-ramai memecah menjadi dua. Tidak terkecuali Persebaya Surabaya. Pemecahan dilakukan demi mendapatkan satu tempat di Liga Primer Indonesia (LPI).

Usai dipilih dalam Musyawarah Cabang Luar Biasa (Muscablub) PSSI Surabaya, Jumat (12/11/2010) lalu, Cholid Goromah langsung menyatakan dukungannya terhadap keberadaan dua Persebaya. Satu berlaga di kompetisi PSSI, yakni divisi utama. Satunya lagi Persebaya yang bakal berlaga di LPI.

Persebaya yang pertama dipimpin Ketua DPRD Kota Surabaya, Wisnu Whardana. Statusnya klub amatir sehingga berhak mendapatkan guliran dana dari APBD. Sebelumnya memang, Wisnu telah mengajukan anggaran Rp 16 miliar yang ditujukan kepada pengcab PSSI Surabaya pada tahun anggaran 2011.

Adapun Persebaya yang berlaga di LPI berstatus profesional. Klub yang dipimpin Saleh Mukadar ini akan menutup biaya operasional melalui kerjasama dengan perusahaan. Salah satunya dari Medco, perusahaan milik penggagas LPI, yakni Arifin Panigoro.

Cholid memaparkan, terbelahnya Persebaya bukanlah situasi yang patut dikhawatirkan. Pada masa kejayaannya, Surabaya justru memiliki tiga klub. Persebaya yang berkiprah di kompetisi Perserikatan dan dua klub lain yang berlaga di Galatama, yakni NIAC Mitra dan Assyabaab Salim Group Surabaya.

Tetapi, gejala perpecahan klub ternyata tidak dimonopoli Surabaya. Kota-kota lain di Indonesia mengalami situasi yang sama. Beberapa klub memecah tim yang nantinya akan tampil di kompetisi LPI dan kompetisi PSSI. Sebut saja PSMS Medan dengan Medan Selection, dan Persitara Jakarta Utara yang membentuk Batavia FC, serta Persija Jakarta yang memiliki Jakarta 1928 FC. Ada lagi PSIS Semarang dan Semarang FC.

Apakah gejala ini merupakan pertanda bagus bagi kondisi persepakbolaan di tanah air? Ataukah, ini suatu pertanda semakin ambruknya prestasi sepakbola Indonesia? Jawabannya bisa dua-duanya. Bisa saja mengarah ke pertanda buruk bisa juga mengarah ke pertanda baik. Kesemuanya bergantung pada cara menyikapi.

Bagi pemrakarsa LPI sendiri, pembentukan tim-tim baru bisa dimaknai sebagai langkah mundur. Prestise LPI tentu melorot karena hanya diikuti oleh segelintir klub berwibawa atau bersejarah panjang. Selebihnya, klub peserta LPI hanyalah tim-tim baru yang secara tiba-tiba nongol.

Dengan bermodal klub-klub baru, gema LPI tentu saja lemah. Sebuah klub baru belum memiliki keterikatan erat dengan suporter alias pendukung. Dia masih harus membuktikan kiprah agar mendapat simpati dari masyarakat dan selanjutnya memiliki suporter fanatik. Untuk itu, LPI musti kerja ekstra keras agar mampu membuktikan kualitasnya seperti yang bolak balik didengungkan. Bisa saja, LPI gagal. Begitu pula pula sebaliknya, berkat dukungan dana dan profesionalisme, LPI mungkin sukses menjadi lokomotif perubahan sepakbola Indonesia.

Lain halnya bila LPI diikuti klub-klub legendaris. Semisal Persija, Persipura, Persib, PSM Makassar, Arema, maupun PSMS Medan. Langkah LPI bakal lebih mudah. Militansi suporter telah terbentuk. Mereka juga akan lebih mudah mendapat kepercayaan dari sponsor.

Namun ini sepakbola. Segala hal bisa terjadi. Keikutsertaan klub-klub legendaris bisa saja justru membikin ruwet agenda perubahan yang digarap LPI. Dengan posisi status quo, banyak pihak yang telah terlibat. Banyak kepentingan yang turut melekat. Pada kondisi itu, perubahan tentu saja sulit digelar. Dengan posisi klub yang masih baru, arah perubahan bakal lebih cepat terealisasi. Sungguh, kesemuanya masih mungkin.

Lantas, di manakah letak kunci permasalahan dan kunci pemecahan situasi pelik ini? Tidak lain tidak bukan, tempatnya ada di PSSI.

Dengan legalitasnya, PSSI mampu mendorong terbangunnya kompetisi profesional berkelas internasional seperti yang diagendakan LPI. Begitu pula sebaliknya, PSSI mampu menjadi tembok tebal yang menghadang perwujudan kinerja LPI.

Selama ini, PSSI terkesan menutup pintu. Berulangkali pintu itu diketuk, penghuninya tetap menutup diri. Justru sebaliknya, PSSI seperti kebakaran jenggot. Tampak bahwa PSSI merasa terancam. Petinggi PSSI acap kali mengeluarkan pernyataan yang isinya mengancam keberlangsungan LPI.
Jika PSSI terus mempertahankan sikap sementara penggagas LPI bersikeras menggulirkan perubahan, bentrok bukan hal yang mustahil terjadi. Korbannya adalah sepakbola itu sendiri.
Kita tentu berharap bentrok tidak pecah. Untuk itu, sikap dewasa dari PSSI ditunggu oleh banyak pihak. PSSI seharusnya membuka diri. Artinya, perubahan tidak bisa dihindari. Sudah waktunya PSSI duduk satu meja dengan pihak LPI. Agendanya jelas, mencari format terbaik dari persepakbolaan di tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar